Sebagai pewawancara yang baik, ada enam “skill” yang perlu dimiliki
pewawancara dalam melakukan interview dan sangat perlu diperhatikan. Adapun ke-enam
kemampuan tersebut adalah sebagai berikut:
Kemampuan membina rapport, kemampuan ini adalah dasar atau menjadi bagian awal yang penting dalam wawancara. Membina rapport adalah teknik yang dilakukan pewawancara untuk memberi kesan aman dan nyaman bagi subyek wawancara. Dalam hal ini, yang dilakukan seorang pewawancara adalah dengan menyambut subyek berawal dari raut wajah yang ditunjukkan oleh pewawancara. Selain menyambut dengan senyum, yang biasa kita lakukan adalah dengan berjabat tangan sambil berkata “hallo” atau “hai” dengan nada yang lembut. Hal tersebut dapat dilakukan bersamaan sambil juga mempersilahkan subyek untuk duduk. Selain itu juga dapat dengan menanyakan melalui obrolan kecil mengenai bagaimana perjalanan menuju ke tempat wawancara dilakukan atau hal lain yang membuat subyek merasa di asingkan. Wajah kita merupakan bagian yang pertama kali memberikan kesan positif atau tidaknya seseorang dalam pertemuan pertama, naah.. berawal dari senyuman yang lembut dan tulus saat menyambut subyek adalah hal yang baik, namun bukan berarti menjadi berlebihan, jika berlebihan maka akan membuat subyek merasa risih akan sikap tersebut.
Dalam proses wawancara, pewawancara juga
harus mampu melihat karakteristik apa yang terlihat pada subyek dan memiliki
data diri subyek. Pewawancara juga harus terlihat mengerti dan memahami yang
terlihat dari tanggapan pewawancara tanpa terlihat sok tau, atau malah terlihat
ingin tahu, sehingga membuat subyek semakin nyaman untuk bercerita dengan
pewawacara. Seorang pewawancara yang baik juga tidak menunjukkan wajah yang “judgemental” hal ini
sangat tidak baik dalam proses perkenalan, karena akan memberikan kesan yang
kurang diterima oleh subyek. Lalu jangan terlalu banyak berbicara saat subyek
sedang bercerita, karena saat subyek berada dalam kesulitannya pewawancara
harus siap mendengarkan keluhan dan hal yang ingin disampaikan subyek mengenai
masalahnya.
Empati
Rasa empati merupakan hal yang baik bagi pewawancara, yaitu merasakan
apa yang dirasakan oleh subyek. Namun perlu diperhatikan, walaupun kita mau
bersikap dengan memahami apa yang dirasakan oleh subyek, bukan berarti kita
ikut menangis ketika subyek sedang menangis atau menjadi tertawa berlebihan
saat subyek tertawa. Ketika kita memang belum pernah mengalami apa yang subyek
rasakan, maka kita juga dapat mengatakan sebagai respon empati kita bahwa kita
berusaha memahami apa yang subyek rasakan bila berada di posisi subyek. Hal tersebut
membuat subyek merasa bahwa dirinya memang sedang didengarkan dan membuatnya
merasa nyaman ketika sedang bercerita.
Attending behavior
Pada bagian ini, hal yang
penting juga diperhatikan adalah, tidak memotong pembicaraan subyek saat subyek
sedang bicara. Berusaha menjadi pendengar yang baik ketika subyek bercerita,
dan biarkan subyek menceritakan tentang dirinya dalam waktu yang tidak
ditentukan. Sebab, dengan demikian maka kita dapat mengumpulkan data dari
informasi yang disampaikan subyek. Selain menyimak pembicaraan yang disampaikan
subyek, seorang pewawancara yang baik juga harus mampu melatih dirinya untuk
lebih peka dan memperhatikan beberapa dimensi, anatara lain: adanya eye contact
yang perlu dilakukan saat menyimak pembicaraan subyek. Eye contact juga menjadi
bagian dari respon empati kita terhadap subyek, kemudian adanya vocal qualities
yaitu nada dan kecepatan bicara yang sangat perlu diperhatikan agar subyek
tidak tersinggung atas sikap kita. Selanjutnya yaitu Verbal Tracking, tidak
mengubah tujuan pembicaraan yang sudah ditetapkan sejak awal sehingga membuat
kita sebagai pewawancara memilih pertanyaan agar tetap pada tujuan yng sudah
ditetapkan. Selain itu adanya body language, hal yang perlu diperhatikan
adalah, subyek tidak berada ditemoat duduk yang jauh dari pewawancara agar
dapat bercerita dengan jelas. Body language dilakukan dengan hal-hal yang
terhindar dari gaya melipat tangan, menopang dagu diatas meja, dan melipat
tangan kemudian ditaruh ke bagian perut sehingga terlihat sudah lelah dan tidak
mendengarkan subyek saat bicara.
Teknik
bertanya
Teknik ini terdiri dari dua: yaitu close
question dan open question. Kedua teknik tersebut memberikan kegunaan
masing-masing, yaitu dengan open question kita dapat menerima data yang lebih
lengkap saat kita benar-benar konsentrasi menghadapi hal pembebasan ekspresi
perasaan. Hal ini tidak membuat kita menjadi ingin tahu lebih dengan bertanya
secara berulang kali. Selain adanya open question, ada pula yang disebut dengan
close question. Close question dilakukan dengan mengajukan pertanyaan yang
hanya dapat dijawab misalnya dengan jawaban “iya” atau “tidak”. Pertanyaan dengan
menggunakan close question ini merupakan teknik yang bersifat mengarahkan.
Keterampilan
observasi
Sedangkan keterampilan
ini adalah pendamping yang sama pentingnya dengan teknik wawancara. Hal lain
yang dilakukan pewawancara selain memberikan pertanyaan ialah mengobservasi,
melihat apa yang terjadi kepada subyek selama proses wawancara dan menjadi
bagian dari data.
Observasi dilakukan dengan berfokus pada tiga area, antara
lain:
Adanya perilaku non verbal, yaitu seperti adanya
ekspresi wajah yang memperlihatkan ketidak sukaan mengenai cerita atau apa yang
dilihat pewawancara. Selain dengan ekspresi wajah terdapat juga jenis-jenisnya
seperti alis yang di naikkan, bibir menganga dan hal lainnya.
Selanjutnya bahasa
tubuh
Pewawancara harus
memperhatikan bagaimana subyek merasa tenang atau tidak selama duduk,
menggaruk-garuk kepala misalnya, dan tidak memandang secara sereotype.
Perilaku verbal
Perilaku ini
terlihat dari bagaimana pewawancar amendengarkan subyek saat bercerita sehingga
hanya dapat mengatakan “heemm”.. “ooow”.., “ya”.. “lalu”? dll. Selain itu juga
pewawancara harus berhasil memperbaiki bahasa dengan penyampaian yang kurang
pas. Kemudian mengambil dan menyebutkan kembali dengan kata terakhirnya
sehingga subyek meras didengarkan dengan juga diperbaharui melalui modelnya.
Active
listening, terdiri dari:
Sebagai pewawancara yang baik pastinya mendasari bagaimana mendengarkan
seseorang berbicara saat melakukan proses wawancara. Hal ini
dilakukan dengan memberikan dukungan dari bagaimana posisi tubuh kita dan fokus
kita dalam mendengarkan subyek tanpa berpangku tangan. Hal tersebut harus
dihindari agar tidak menimbulkan dampak negatif dari subyek mengenai
pewawancara. Pewawancara juga harus memberikan semacam klarilikasi dengan
bentuk parafrase
mengenai cerita subyek agar terkesan menyimak dengan baik, namun bukan dengan
cara paroting atau “mem-beo”
hal tersebut memberikan kesan yang tidak mengenakan. Selanjutnya diikuti dengan menyimpulkan apa yang dikatakan subyak dengan baik dan pengulangan yang tepat.
hal tersebut memberikan kesan yang tidak mengenakan. Selanjutnya diikuti dengan menyimpulkan apa yang dikatakan subyak dengan baik dan pengulangan yang tepat.
Memang bukan hal yang mudah bila
mendengarkan seseorang berbicara, namun hal tersebut menjadi bagian yang juga
penting dalam menggali dan mendapatkan informasi mengenai subyek ataupub topik
yang sedang dibicarakan subyek.
Pada saat kelas teknik wawancara,
diadakan roleplay yang sangat berkesan yaitu dengan memposisikan diri
berhadapan dengan teman sebelah saat berada di kelas. Saya dan sebagian teman2
yang lainnya diminta untuk bercerita namun tidak didengarkan oleh teman bicara
saya begitupun sebaliknya. Hal tersebut memberikan kesan yang sangat tidak
mengenakkan, karena saat kita berbicara teman sebelah kita diminta untuk sibuk
sendiri.
Maka,jika anda ingin di dengarkan anda
harus terlebih dahulu mendengarkan orang lain dengan baik :)
Sekian uraian ini saya sampaikan,
semoga bermanfaat. Terima kasih.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar